Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti mati raga adalah memperteguh hati dengan menolak segala macam kesenangan diri. Arti lainnya dari mati raga adalah menahan hawa nafsu.
Mati raga juga berarti mematikan keinginan raga (duniawi).Biasanya dilakukan dengan melaksanakan pantang dan puasa. Kalau pantang ini artinya menghindari sesuatu yang biasanya kita konsumsi atau kita sukai. Misalnya pantang makan daging, asin, manis, coklat, rokok, kopi, jajan, mi, gorengan dll. Apa yg kita buat menjadi pantangan adalah sesuatu yg kita senangi. Tidak mematikan raga kalau saya pantang rokok padahal saya memang tidak merokok. Itu namanya bukan pantang. Tetapi karena saya suka sekali minum coklat panas, maka saya pantang minuman coklat panas yang sangat lezat menurut selera saya. Bisa juga pantang suatu rasa, misalnya pantang makan makanan asin, manis, dll.
Dalam tradisi Jawa ada yang disebut mutih, memutihkan. Mutih bertujuan untuk memutihkan atau membersihkan jiwa seseorang dari hawa nafsu. Mutih adalah seseorang yang menjalani puasa dengan memakan makanan dan minuman yang berwarna putih tanpa ada rasa dan warna (ngasrep). Mutih termasuk salah satu contoh mati raga.
Berpuasa juga termasuk salah satu mati raga. Puasa di Katolik itu artinya makan kenyang satu kali, misalnya pada saat makan siang saja. Sedangkan makan pagi dan malam hanya boleh makan & minum sedikit. Kalau bisa tidak usah makan sekalian. Tetapi jika tidak kuat, kita boleh makan sedikit.
Mati raga merupakan salah satu penyangkalan diri. Menyangkal diri tidak lain adalah menyangkut penyangkalan atas penilaian diri sendiri, kehendak kita sendiri, menyangkal kesukaan inderawi kita sendiri. Menyangkal bisa diartikan juga tidak terlekat/terikat pada hal duniawi. Yesus bersabda ”Barangsiapa ingin mengikuti Aku, ia harus menyangkal diri dan memikul salibnya setiap hari (Mat16:24).
Tuhan Yesus sendiri telah menghidupi sabdaNya itu. Dalam kitab suci kita menjumpai peristiwa-peristiwa hidup saat Yesus sungguh bermatiraga/ingkar diri. Salah satunya dalam peristiwa pencobaan di gurun, kita menemukan bahwa sejak awal karya hidup-Nya, semua semata-mata bukan untuk diri-Nya sendiri. Yesus pun tidak terlekat pada hubungan - ikatan manusiawi, bahkan kekeluargaan. Namun, justru menawarkan ikatan rohani dalam Allah. Hal ini nampak jelas ketika diri-Nya dikunjungi ibu-Nya. Yesus juga tidak terlekat pada materi. Dia sanggup meninggalkan segala-galanya, bahkan Yesus tidak memiliki apa-apa, tempat untuk sekedar meletakkan kepala-Nya pun tidak. Puncak-Nya adalah ketidaklekatan-Nya pada hidup yang dimiliki-Nya sendiri. Yesus menyerahkan seluruh-Nya demi umat pendosa sebagai tebusan.
Mati raga adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mati raga merupakan suatu usaha olah hidup. Hal itu dilakukan sebagai suatu sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti penjelasan di atas, Yesus sendiri mengalami sendiri akan mati raga dalam hidup-Nya sebagai jalan untuk semakin dekat dengan Allah Bapa-Nya. Empat puluh hari lamanya Yesus berpuasa, selama masa itu Yesus dicobai setan tiga kali dan Yesus pun sanggup teguh akan gerak hati-Nya untuk semakin dekat dengan Allah Bapa.
Tujuan mati raga untuk apa sebetulnya? Selain mengikuti sabda Yesus seperti dalam uraian di atas, tujuan dari mati raga tidak lain adalah bahwa segala hal yang kita lakukan dan jalankan hanya untuk mencintai Allah, untuk menyesuaikan keputusan kita pada Allah, menyerahkan kehendak kita kepada Dia yang harus kita taati. Tujuan akhir hidup pembaktian kita tidak lain adalah kebersatuan dengan Allah sendiri yang mencintai kita lebih dahulu. Maka dalam konteks ini, salah satu tujuan dari usaha mati raga kita adalah bukan untuk kepentingan ragawi namun semata-mata demi mencintai Allah, Sang Cinta. Hanya dengan alasan inilah matiraga yang kita lakukan mampu menampilkan makna rohani.
Harapan kita semua dalam mati raga kita, dengan ingkar diri kita terdorong untuk rendah hati di hadapan Allah sendiri sebagai penyelenggara hidup. Sebab dengan semangat kerendahan hati itu kita mampu menemukan Dia dan memahami kehendak-Nya atas hidup kita. Keutamaan ini menandakan keberanian kita untuk ”MENGIKIS CINTA DIRI” yang negatif. Cinta diri yang negatif berarti kita terlekat pada keegoan diri yang tinggi yang membuat kita tidak peka bahkan buta akan kenyataan di luar diri kita. Padahal, dalam kenyataan itulah hadir sapaan-Nya dan kehadiran-Nya terutama dalam diri sesama kita. Kita belajar peka terhadap sesama kita. Bukankah kita sudah menerima KASIH dari Allah? Bukankah itu semua diberikan secara gratis dari Allah? Sudah selayaknyalah kita juga membagikan kasih bagi sesama kita tanpa berharap balasan. (CEM)
Sumber:
Tidak ada komentar
Posting Komentar