Kita mungkin pernah membaca atau mendengar kisah tentang pendaki gunung dengan perjuangannya melawan rintangan, kabut tebal yang menyesatkan, jurang yang terjal di kiri kanan jalan setapak, suhu dingin yang membekukan, bahkan kekurangan asupan oksigen yang bisa berakibat kematian. Namun apabila pendaki berhasil mencapai puncak gunung, semua perjuangan berat tersebut akan terbayar lunas dengan rasa puas yang tiada bandingnya, karena telah berhasil meraih pencapaian yang luar biasa.
Bacaan Injil hari ini mengisahkan Yesus yang mendaki gunung Tabor bersama Petrus, Yohanes serta Yakobus dan menampakkan kemuliaan. Kemuliaan dan keillahian-Nya nampak di hadapan tiga rasul dengan berubah rupa dan pakaian-Nya menjadi sangat putih berkilauan. Kemuliaan itu semakin nampak karena saat itu Yesus didampingi oleh 2 nabi besar, yaitu Musa dan Elia. Sebelum keajaiban itu menghilang, terdengarlah suara Allah yang bersabda, ”Inilah Anak-Ku yang terkasih; Dengarkanlah dia.”
Gunung nampaknya menjadi sebuah tempat penting yang dikunjungi oleh banyak tokoh besar dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam bacaan pertama, Abraham naik ke gunung Moria untuk menunjukkan ketaatannya kepada Allah, karena Allah menghendaki dia harus mengorbankan Iskak , anaknya yang tunggal (Kej. 22:1-2). Namun demikian, karena ketaatan Abraham, Allah menggantikan Iskak dengan seekor domba sebagai korban persembahan (Kej. 22:13).
Selaras dengan apa yang dilakukan Abraham, Allah telah menunjukkan kasih karunia-Nya kepada manusia yang telah jatuh dalam dosa, dengan merelakan dan mengutus Putera-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, untuk menyelamatkan manusia (Rom. 8:31b-34).
Meskipun hanya sebentar dan hanya disaksikan oleh tiga orang murid-Nya, peristiwa Yesus dimuliakan di Gunung Tabor menunjukkan siapa Yesus sebenarnya, Dia adalah Mesias yang mulia. Dan sekalipun Yesus harus menderita sengsara dan wafat di Puncak Golgota, itu bukanlah akhir, akan tetapi hanyalah jalan menuju kemuliaan-Nya. Kemuliaan yang sepenuhnya adalah pada saat Yesus bangkit dari antara orang mati, dan mereka yang percaya akan mulia bersama Dia.
Belajar dari pengalaman tiga rasul dalam perikop ini, marilah kita jangan hanya terpukau akan kemuliaan Tuhan, tetapi harus bisa menjadi saksi kemuliaan-Nya, dengan selalu mendengarkan Dia dan taat melakukan Sabda-Nya. Teristimewa dalam masa Prapaskah ini, seperti 3 rasul Yesus kita diajak ‘mendaki gunung’ untuk mengalami pertobatan. Perjalanan naik ke gunung ini kita lakukan dengan cara berdoa, berpantang dan berpuasa serta melakukan tindakan amal kasih.
Gereja St Ambrosius telah menyediakan berbagai sarana untuk merealisasikan kegiatan tersebut. Melalui program GEMATI kebiasaan berdoa dalam keluarga selain dapat meningkatkan pertumbuhan iman dan semangat belarasa terhadap sesama, juga mampu meningkatkan kepekaan kita untuk mendengar suara Tuhan. Gerakan BERKAT memberi ruang untuk menyalurkan rasa kepedulian kita dengan berbagi kasih, talenta dan berkat bagi sesama, khususnya bagi yang membutuhkan. Puasa dan pantang selain bermakna sebagai bentuk mati raga, juga adalah upaya pribadi untuk menjauhi perbuatan dosa, belajar rendah hati di hadapan Tuhan serta bermurah hati kepada sesama. Inilah bentuk pertobatan sejati yang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan beroleh terang dan semangat baru untuk melakukan perintah-Nya. Meskipun tidak mudah, marilah kita berusaha melawan godaan dan kesulitan yang menghadang. Dengan mengandalkan Yesus sebagai leader atau pemimpin jalan, niscaya kita akan sampai pada puncak gunung dan melihat kemuliaan-Nya, karena kita sungguh berharga di mata-Nya (Mzm. 116: 15).
(YFE)
Berdasar bacaan liturgi Minggu,28 Februari 2021
Kejadian 22:1-2, 9a, 10-13, 15-18
Mazmur 116:10, 15, 16-17, 18-19
Roma 8:31b-34
Markus 9:2-10
Credit image: renunganpdkk.blogspot.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar