Mengenang Arwah Semua Orang Beriman
Setiap tahun pada tanggal 2 November, dalam Penanggalan Liturgi, Gereja merayakan Hari Raya Mengenang Arwah Semua Orang Beriman. Mengajak kita menyadari akan kematian yang tidak hanya membuat hidup terasa hampa, tetapi juga penting dan menarik. Hidup kita terbatas. Karenanya waktu menjadi sangat berharga. Seperti dalam dunia pertandingan, waktu menjadi penting untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya (Ef. 5:16). Setiap jam bisa menjadi jam terakhir kita.
Meski demikian, dengan iman kita percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Tetapi peralihan dari hidup yang fana, dan sementara di dunia ini menuju hidup baru yang abadi. Kalau begitu arti hidup manusia ditentukan sejak masih hidup di dunia ini (1Ptr. 2:11-12), sampai pengembaraannya selesai pada saat kematian.
Dalam Syahadat/ Aku percaya “kebangkitan badan kehidupan kekal” inilah jawaban iman akan harapan kita yang paling dalam. Tidak ada seorang pun dapat hidup tanpa harapan. Kita mulai mewujudkan harapan dengan perbuatan pertobatan yang nyata dengan hidup secara baru “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Oleh kuasa kasih Kristus yang mengikat kita semua di dalam satu Tubuh-Nya – karena baptis - itulah yang menjadikan adanya tiga status Gereja, yaitu 1) yang masih mengembara di dunia, 2) yang sudah jaya di surga dan 3) yang masih dimurnikan di Api Penyucian (Purgatorium). Sekali pun istilah Api Penyucian secara explisit tidak terdapat dalam Alkitab, seperti “Trinitas” dan “Inkarnasi”, tidak berarti “Api Penyucian” tidak ada.
Dengan prinsip bahwa kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus selayaknya saling tolong menolong dalam menanggung beban (Gal. 6:2) dimana yang kuat menolong yang lemah (Rm. 15:1), maka jika kita mengetahui kemungkinan adanya anggota keluarga kita yang masih dimurnikan di Api Penyucian, maka kita yang masih hidup dapat mendoakan mereka secara khusus dengan mengajukan intensi Misa kudus.
Tradisi Ajaran Gereja mengenai api penyucian tersirat atas kata-kata Yesus yang menunjukkan adanya kemungkinan pengampunan dalam dunia yang akan datang (Mat. 5:26) dan kata-kata St. Paulus mengenai kemungkinan diselamatkan seperti “dari dalam api” (1Kor. 3:15). Tetapi landasan yang sebenarnya dari ajaran ini adalah praktek doa sejak akhir Perjanjian Lama “Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati..., dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka." (2 Mak. 12:42-46). Doa untuk orang-orang mati disebut sebagi suatu gagasan yang suci dan saleh.
Doa selalu mengandaikan iman akan kebenaran janji Allah yang tidak akan pernah diingkari, janji bahwa Allah akan menyelamatkan manusia. Karena Ia adalah Allah kita dan kita adalah umatNya. Doa adalah penegasan dari ketaatan kita kepada janji Allah tsb. Walaupun kehendak Allah itu mungkin belum kita pahami seluruhnya karena keterbatasan kita. “Sebab hidup kami ini karena percaya bukan karena melihat” – 2Kor. 5:7. Sekali pun kita percaya bahwa Ia setia pada janji-Nya. Yesus adalah satu-satunya perantara kita kepada Allah Bapa.
Oleh karena itu perlulah kita meluruskan pandangan tentang doa, khususnya bagi arwah saudara kita yang kita kasihi selama hidupnya di dunia, agar kita juga dapat menghayati hidup doa dengan baik dan benar. Titik tolak kita adalah bahwa Yesus sendiri menasihati kita agar bertekun dalam doa (Mrk. 11:24; Mat. 7:7-11; 21:22; Luk. 11:9-13). Dan yang lebih penting lagi Yesus sendiri berdoa (Luk. 3:21; 5:16; 6:12; 9:28; 10:21; 11:1). Atas nasihat dan teladan Yesus itulah, kita berusaha memahami dan menghayati doa serta perannya dalam hidup kita. Doa akan mempertajam batin kita dengan semakin setia mengikuti Yesus.-
Penulis: Hardy Tan Budiardjo
Sumber:
- Hidupku Sebagai Orang Katolik Indonesia
- KGK 1030 – 1031
Image Credit: MaxPixel's contributors
Tidak ada komentar
Posting Komentar