Hikmat dari Ekaristi dan Doa Rosario dalam Masa Pandemi [1/2]

Tidak ada komentar

Renungan Romo J.A. Hendra Sutedja, S.J.
4 April 2020

(Sharing pergumulan saya selama beberapa minggu terakhir ini)
Setelah berhari-hari tinggal di rumah, dikepung oleh kengerian Covid 19, dan terseret oleh berita yang menyesakkan hati, tanpa terasa Covid menjajah seluruh hidup dan semangat saya. Kabut negatif merayap ke permukaan dan bayang-bayang fatalistik terbentuk semakin tebal.

Tanggal 1 April, saya tergoda sekali untuk tidak misa dan tidak berdoa Rosario, karena semua terasa seperti memukul angin. Kosong. Saya tidak bisa merasakan bobot dari merayakan ekaristi dan mendaras doa-doa Rosario. Saya menjadi kehilangan keyakinan kalau semua itu ada gunanya, karena “bukankah Allah biasanya hanya bicara kalau Dia mau bicara, dan bertindak kalau Dia mau bertindak?” Saya paksakan diri untuk membereskan altar, menyiapkan alat-alat misa, walaupun hati tetap sesak dan tanpa semangat.

Dalam Misa itu, suara harus saya paksakan keluar. Hingga pada suatu bagian dalam Ekaristi itu, kata “terang” dan “kemuliaan” menarik perhatian saya. Sebenarnya dua kata itu selalu menarik perhatian dalam setiap Peristiwa Terang yang saya renungkan waktu berdoa Rosario, tapi tidak banyak saya perhatikan dan saya tidak tahu apa arti kata-kata itu. Karena seluruh perhatian sedang terserap oleh penderitaan, kengerian, kerisauan karena Covid 19. Sementara misa terus berlangsung, saya mulai melihat sesuatu yang lain, bahwa di dalam jiwa-jiwa yang terkulai di bawah tindihan Covid 19, ada kemuliaan Allah. Mengapa “terang” dan “kemuliaan” itu seakan hilang? Perlahan-lahan saya semakin jelas melihat dan merasakan, kemuliaan itu. Kemuliaan Allah sedang bekerja. Allah mau saya melihat itu, berhadapan dengan hantaman Covid 19, manusia harus tetap berdiri teguh dalam martabat mulia seorang anak Allah.

Saya merasakan semangat bergerak kuat di dalam diri saya, suara menjadi mantap, keraguan pelan-pelan menyurut, bayangan kematian semakin pudar. Batin saya mulai terarah pada kenyataan “hidup atau mati aku milik Kristus”:
“Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.”
(Rom 14: 8)

Saya semakin disadarkan bahwa setiap doa dan gerak ekaristi jelas membawa kuasa kemuliaan Allah. Saya harus bawa persembahan itu. Kurban Salib yang meyelamatkan harus saya angkat agar seluruh ciptaan dan semua umat manusia disadarkan kembali akan martabat mulia yang diberikan Bapa kepada kita. Kita harus berdiri dengan penuh martabat di hadapan Covid 19. Semangat kita tidak boleh dihimpit dan dilesukan oleh bayang-bayang kematian yang tercipta dari Covid 19. Fokus itu harus saya pelihara dan jaga sebagai fokus hidup saya. Begitu menjadi samar-samar, kegelisahan akan muncul kembali.

Seorang dokter muda, yang dengan berani dan spontan mendaftarkan diri menjadi volunteer di Rumah Sakit Wisma Atlet Kemayoran, memasang di Insta Story-nya foto tim dokter muda yang merelakan diri untuk melawan Covid 19 dan di samping foto itu ia menulis:
“Tired? Yes. Exhausted? Yes. Pain? Yes. Give up? No! Life isn’t about waiting for the storm to pass. It’s about learning how to dance in the rain. Keep calm and carry on. We stay here for you. Everything will be okay in the end. If it’s not okay it’s not the end. This too shall pass.”

Dia bukan orang yang mau cari mati. Tetapi dia bilang, “Ini seperti perang, harus dilawan.” “Saya takut, tapi harus ada yang mau!” Semangat itu, ya, semangat itu, semangat dan wibawa anak Allah.

Saat membawakan doa-doa Ekaristi, ingatan akan kata-kata dokter muda itu, membuat jiwa saya diserap oleh keagungan kemuliaan Allah, yang tiba-tiba tampak jelas hadir dalam ciptaan dan setiap hati manusia. Kemuliaan itu bukan hanya ada pada Bapa, kemuliaan itu telah dibuat menjadi hidup kita. Itu yang Yesus ajarkan pada kita dalam doa Bapa Kami. Saat mendoakan Bapa Kami, jiwa saya menjadi paham mengapa Yesus ingin kita minta kepada Bapa, “Dimuliakanlah Nama-Mu”. Bapa menghadirkan kemuliaan-Nya dalam segenap alam ciptaan dan dalam diri setiap anak manusia. Kemuliaan itu harus kembali kita pancarkan, seperti dokter muda itu, kendati dia sebenarnya takut akan Covid 19, tetapi tidak mau mundur, bahkan mengambil perang itu; mengalahkan Covid 19 dan menyelamatkan jiwa-jiwa sebagai tanggung jawab pribadinya. Itu tampilan kemuliaan Allah yang Yesus ajarkan agar kita minta kepada Bapa. Doa Bapa Kami dalam misa malam itu menjadi begitu kuat dan penuh daya. Membangunkan kembali batin yang rontok dan semangat yang lesu.

Waktu Tubuh dan Darah Yesus saya angkat kepada Bapa, dengan yakin saya berdoa:
“Dengan pengantaraan Kristus, bersama Dia dan dalam Dia, bagi-Mu, Allah Bapa yang maha kuasa, dalam persekutuan dengan Roh Kudus, segala hormat dan kemuliaan sepanjang segala masa.”
Surga dan bumi bertemu dalam patena dan piala itu, kemuliaan memancar dalam seluruh ciptaan, alam dan manusia, mewakili seluruh ciptaan dan umat manusia, saya menjawab, “Amin, amin, amin!”

Bumi dipenuhi lagi oleh kemuliaan Allah. “Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu.” Seluruh alam ciptaan dan umat manusia harus bangkit berdiri dalam kemuliaan yang dianugerahkan oleh Bapa. Suasana mulia memenuhi diri saya, merontokkan segala kesenduan.

Ekaristi upacara yang penuh dengan kemuliaan. Ekaristi adalah tampilan kemenangan mulia akhir zaman yang dihadirkan di bumi setiap kali Ekaristi dirayakan. Itulah yang terpancar dari kata-kata dokter muda itu: “Tired? Yes. Exhausted? Yes. Pain? Yes. Give up? No!" Semua sifat manusiawi tetap ada, cape, letih, sakit, tapi semua itu tidak bisa memadamkan kodrat ilahi yang tampil dalam kata-kata: “menyerah? TIDAK!” Itu semangat yang berisi kemuliaan Allah. Dokter muda itu, bersama dengan semua petugas medik lainnya dan semua orang yang terlibat dalam usaha mengalahkan Covid 19 sedang merayakan Ekaristi batin bersama Yesus.

Dalam Peristiwa Terang kelima Doa Rosario, kita diajak untuk merenungkan dan menyerap kata-kata itu ke dalam jiwa kita: “Ambillah, inilah Tubuh-Ku” dan kemudian “Inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagi banyak orang.” Kodrat kita adalah tampilan kemuliaan Allah, dan kemuliaan itu menjadi nyata dan memancar utuh dalam persembahan diri untuk banyak orang. Dan kemuliaan itu mematahkan setiap kegelapan yang menyelimuti jiwa dan membuat kita lumpuh, juga di hadapan Covid 19.

Maka pertama dan yang paling utama kita harus sadar bahwa kita dipanggil untuk membawa kemuliaan Allah. Lantas setelah itu kita bawa kemuliaan itu ditempat di mana kita berada sesuai peran kita. Tidak bisa kita semua masuk ke rumah sakit dan menolong korban. Karena dengan cara itu kita mati konyol, karena kita tidak punya skill dan kemampuannya. Tapi kita bisa kembali ke dalam keluarga, dalam lingkungan kita tinggal dengan membawakan kemurahan hati. Kemurahan hati yang ingin berbagi, tergerak untuk saling membantu dalam berbagai bentuknya, itu adalah ungkapan hadirnya “Kerajaan Surga”. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk minta kepada Bapa “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam Surga” dan kita adalah kehadiran Kerajaan Surga di bumi ini, tampilan kemah Allah:
"Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.”
(Wah 21: 3)

Dengarkan suara Allah yang mengajak anda untuk berperan. Tetapi di bawah semua itu, hadirlah dengan martabat mulia seorang anak Allah. Ikut dalam gerak Bapa menghapus kesedihan dan air mata:
“Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”
(Wah 21: 4)

Kesadaran dipenuhi oleh kemuliaan ilahi, dan batin saya melihat seluruh ciptaan dan umat manusia dipenuhi kemuliaan yang sama. Ekaristi menjadi saat di mana realita itu muncul secara sakramental yang mendukung indra kita. Saya melihat itu. Ekaristi yang boleh saya persembahkan adalah saat di mana kurban Salib dengan amat kuat dan tidak bisa salah, mematahkan kuasa jahat, apapun itu, termasuk keputus-asaan dan ketegangan yang muncul akibat Covid 19. Kuasa kegelapan bisa memakai sensasi kita untuk menjerat dan melumpuhkan kita. Ekaristi membelah itu semua seperti dari atas Salib Yesus membelah tirai Bait Allah. Tiada lagi pemisah antara Allah dan ciptaan, kita dimasukkan ke dalam kemuliaan-Nya. Bangkit! Itu yang bergerak dalam hati dan kesadaran saya, dan harusnya dalam diri anda sekalian juga.

Berkat akhir Ekaristi saya lakukan dengan kesadaran bahwa berkat surgawi itu menjelajah sampai ke ujung bumi dan memperbarui segenap ciptaan yang mengajak kita untuk menjadi baru:
“Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi.” (Mz. 104: 30)
Itulah kemuliaan Tuhan, membuat semua tercipta baru.
“Biarlah kemuliaan Tuhan tetap untuk selama-lamanya, biarlah Tuhan bersukacita karena perbuatan-perbuatan-Nya.” (Mz. 104: 31)
Kita yang melihat kemuliaan Allah bernyanyi:
“Aku hendak menyanyi bagi Tuhan selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada. Biarlah renunganku manis kedengaran kepada-Nya! Aku hendak bersukacita karena Tuhan” (Mz. 104: 33-34).




BERSAMBUNG KE BAGIAN KEDUA... silakan klik di sini




Credit image: majalah.hidupkatolik.com


Tidak ada komentar

Posting Komentar